Saturday 21 July 2012

Shalat Tarawih





Shalat malam di bulan Ramadhan dinamakan Tarawih yang artinya “istirahat” karena orang yang melakukan shalat Tarawih beristirahat setelah melaksanakan shalat empat raka’at. Shalat Tarawih termasuk qiyamul lail atau shalat malam. Akan tetapi, shalat Tarawih hanya dikhususkan dan boleh dikerjakan di bulan Ramadhan saja.
Para ulama sepakat bahwa shalat Tarawih hukumnya adalah sunnah {dianjurkan}. Bahkan menurut ulama Hanafiyah, Hanabilah, dan Malikiyyah, hukum shalat Tarawih adalah sunnah mu’akkadah {sangat dianjurkan}. Shalat ini dianjurkan bagi laki-laki dan perempuan. Shalat Tarawih merupakan salah satu syi’ar Islam. Shalat Tarawih ini disyari’atkan dilakukan secara berjama’ah sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi dan para sahabat setelahnya.

Keutamaan Shalat Tarawih

Pertama, akan mendapatkan ampunan dosa yang telah lalu. Sebagaimana yang telah disebutkan dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan {shalat Tarawih} karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” {Mutafaqun  ‘Alaih}.
Kedua, shalat Tarawih bersama imam seperti shalat semalam penuh. Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengumpulkan keluarga dan para sahabatnya. Lalu beliau bersabda, “Siapa yang shalat {malam} bersama imam hingga ia selesai, maka ditulis untuknya pahala melaksanakan shalat satu malam penuh.” {HR. Ahmad dan Tirmidzi}.

Jumlah raka’at shalat Tarawih

Ulama’ berbeda pendapat tentang jumlah raka’at Terawih, berikut ini pendapat mereka beserta dalil-dalil ringkas masing-masing pendapat tersebut :

11 raka’at
Sebagian ulama’ berpendapat bahwa jumlah raka'at terawih adalah 8 raka’at dengan 3 witir. Pendapat ini berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut : 

1. Hadits riwayat ‘Aisyah r.ah.  ketika beliau ditanya tentang shalat malam Nabi SAW di dalam dan di luar Ramadhan, ‘Aisyah menjawab, “Rasulullah SAW tidak pernah menambah jumlah raka’at dalam shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam shalat lainnya lebih dari 11 raka’at.” 1.
 
2. Hadits dari Jabir bin ‘Abdillah r.a. beliau menuturkan, “Rasulullah SAW pernah shalat bersama kami di bulan Ramadhan sebanyak 8 raka’at lalu beliau berwitir. Pada malam berikutnya, kami pun berkumpul di masjid sambil berharap beliau akan keluar. Kami terus menantikan beliau di situ hingga datang waktu fajar. Kemudian kami menemui beliau dan bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami menunggumu tadi malam, dengan harapan engkau akan shalat bersama kami.” Beliau menjawab, “Sesungguhnya aku khawatir kalau akhirnya shalat tersebut menjadi wajib bagimu.” {HR. Ath Thabrani, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah}.

3. Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata, “Shalat Nabi SAW di malam hari adalah 13 raka’at.” 2. Sebagian ulama mengatakan bahwa shalat malam yang dilakukan Nabi SAW adalah 11 raka’at. Adapun dua raka’at lainnya adalah dua raka’at ringan yang dikerjakan oleh Nabi SAW sebagai pembuka melaksanakan shalat malam, sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari {4/123}.
Adapun ‘ulama yang berpendapat bahwa shalat terawih tidak lebih dari 11 rakaat diantaranya Ibnu Hajar Al Haitsamiy 3 , Bin Baaz, dan Nashirudin al Albani.

20 raka’at
Jumhur Ulama’ shalaf telah bersepakat bahwa sebaik-baiknya salat terawih adalah dikerjakan  20 raka’at. Berikut kitab-kitab yang menyebutkan hal tersebut :

·         Al-Fiqhu ‘Ala al-Madzahib al-Arbaah menyatakan bahwa salat Tarawih adalah 20 rakaat menurut semua imam madzhab kecuali witir.

·         Kitab Mizan karangan Imam asy-Sya’rani halaman 148 dinyatakan bahwa termasuk pendapat Imam Abu Hanifah, asy-Syafii, dan Ahmad, salat Tarawih adalah 20 rakaat. Imam asy-Syafii berkata, “20 rakaat bagi mereka adalah lebih saya sukai.”

·         Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq, Imam At-Tirmidzi menyatakan bahwa Umar, Ali dan sahabat lainnya melaksanakan shalat Tarawih 20 rakaat selain witir. Pendapat ini didukung Imam At-Tsauri, Imam Ibnu Mubarak, dan Imam Asy-Syafi’i.

·         Bidayah al-Mujtahid  karangan Imam Qurthubi juz I halaman 21.

·         Muwattha’ Imam Malik tentang riwayat Umar bin Khatab.

·         Didalam al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 9635 – 9636 disebutkan bahwa jumhur fuqaha dari kalangan madzhab Hanafi, Syafi’i, Hambali dan sebagian Maliki berpendapat bahwa shalat Tarawih dilakukan dengan dua puluh rakaat. sebagaimana diriwayatkan oleh Malik dari Yazid bin Ruman dan Baihaqi dari as Saib bin Yazid tentang shalat manusia pada masa Umar adalah dua puluh raka'at.

·         Al Kasaani mengatakan, “ ’Umar mengumpulkan para sahabat untuk melaksanakan qiyam Ramadhan lalu diimami oleh Ubay bin Ka’ab r.a. Lalu shalat tersebut dilaksanakan 20 raka’at. Tidak ada seorang pun yang mengingkarinya
sehingga pendapat ini menjadi ijma’ atau kesepakatan para sahabat.” 4. Hal idi mengerti {tentang sikap sepakatnya para sahabat pada tindakan Umar} Karena Rasulullah SAW telah mengingatkan dalam haditsnya, : “Wajib atas kamu sekalian mengikuti sunnahku dan sunnah dari al-Khulafa ar-Rasyidun yang telah mendapat petunjuk. Gigitlah sunnah-sunnah tersebut dengan gigi geraham {berpegang teguhlah kamu sekalian pada sunnah-sunnah tersebut}.” {HR. Abu Daud} demikian juga Rasulullah SAW juga bersabda : “Ikutlah kamu sekalian dengan kedua orang ini sesudah aku mangkat, yaitu Abu Bakar dan Umar”. {HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah}

·         Al-Mukarram Alhamid Alhusaini di dalam bukunya Risalah Tentang Beberapa Soal Khilafiyah 5. mengatakan bahawa hadits ‘Aisyah tidak boleh dijadikan alasan kerana 2 sebab :

1- Hadits dari ‘Aisyah tersebut menunjukkan apa yang dilihat oleh ‘Aisyah ketika giliran Baginda SAW di rumahnya pada malam-malam tertentu saja karena Rasulullah SAW mempunyai isteri-isteri lain. Kemungkinan bilangan rakaat yang dilakukan oleh Rasulullah di rumah isteri-isteri Baginda  yang lain adalah lebih dari itu. Hal ini tidak mustahil terjadi , karena dalam beberapa hal lain aisyah juga pernah mengatakan sesuatu yang tidak pernah dilihatnya dikerjakan oleh Nabi, tetapi ternyata hal tersebut adalah dilakukan oleh Nabi SAW, misalnya tentang shalat Dhuha. Kita simak hadits dibawah ini :
dari ‘Aisyah r.ah. beliau berkata :  “Aku tidak pernah melihat Rasulullah SAW Shalat Dhuha sama sekali. Dan aku sendiri mendirikan sembahyang Dhuha. Dan walaupun Rasulullah  SAW sendiri sebenarnya menyukainya tetapi Baginda  beliau meninggalkannya karena khawatir orang banyak akan mengerjakannya lalu {nantinya} akan difardhukan ke atas mereka.” {HR. Muslim}
sedangkan sebaliknya, terdapat hadits lain yang jelas menunjukkan bahwa Rasulullah SAW mendirikan Sholat Dhuha dan menganjurkan Abu Hurairah agar tidak meninggalkannya. Di dalam hadits dari Abu Hurairah disebutkan:  “Kekasihku {Rasulullah SAW} telah mewasiatkanku 3 perkara, tidak sekali-kali aku meninggalkannya selagi masih hidup: agar berpuasa 3 hari setiap bulan, Sholat Dhuha dan tidak tidur sehingga sholat Witir terlebih dahulu.”{HR. Muslim}
Di dalam hadith dari Abd ar-Rahman bin Abi Laila menyebutkan: “Tidak ada seorang pun yang pernah memberitahu kepadaku bahawa dia pernah Nabi SAW bersembahyang Dhuha melainkan Ummu Hani’, dia berkata: Sesungguhnya Nabi SAW masuk ke rumahnya pada hari pembukaan Makkah, lalu sholat 8 rakaat. Aku tidak pernah melihat Baginda shalat lebih ringan daripada sholat yang aku lihat itu, beliau ruku’ dan sujud dengan sempurna.”{HR.Muslim}
Pernyataan ‘Aisyah r.ah. bahwa Nabi SAW  tidak pernah bersembahyang Dhuha adalah berdasarkan apa yang dilihatnya di rumahnya. Sedangkan kenyataannya, dalam riwayat lain beliau ada mengerjakannya.

2- Hadith lain menunjukkan Rasulullah SAW shalat  malam lebih dari 11 rakaat.
Diantaranya Hadits dari Ibn Abbas mengatakan:  “Adalah Rasulullah SAW bersembahyang malam 13 rakaat.”{HR. Muslim}
Hadits dari Ali bin Abi Tholib pula menyatakan:  “Adalah Rasulullah SAW shalat malam 16 rakaat selain sholat wajib.” {HR.Muslim}
Dalam hadith dari Zaid bin Khalid al-Jahni pula mengatakan bahawa Rasulullah SAW  Shalat malam sebanyak 13 rakaat.” {HR.Muslim}
Semua hadits ini menunjukkan bahwa sembahyang malam Rasulullah SAW  lebih dari 11 rakaat, tidak sama dengan bilangan rakaat yang disebutkan oleh ‘Aisyah {tidak ebih dari sebelas raka’at}.

Adapun hadits-hadits yang menjadi dalil pendapat yang mendasari bahwa Tarawih boleh dikerjakan 20 raka’at diantaranya :
1.      Nabi SAW keluar pada waktu tengah malam pada bulan Ramadhan, yaitu pada tiga malam yang terpisah: malam tanggal 23, 25, dan 27. Beliau salat di masjid dan orang-orang salat seperti salat beliau di masjid. Beliau salat dengan mereka delapan rakaat, artinya dengan empat kali salam sebagaimana keterangan mendatang, dan mereka menyempurnakan salat tersebut di rumah-rumah mereka, artinya sehingga shalat tersebut sempurna 20 rakaat menurut keterangan mendatang. Dari mereka itu terdengar suara seperti suara lebah”. {Mutafaqun ‘Alaih}

2.      Dalam Sunan al-Baihaqiy dengan isnad yang sahih sebagaimana ucapan Zainuddin al-Iraqi dalam kitab “Syarah Taqrib”, dari as-Sa’ib bin Yazid ra. Disebutkan : “Mereka {para sahabat} melakukan shalat pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab ra. pada bulan Ramadlan dengan 20 rakaat. 

3.      Imam Malik dalam kitab “Al-Muwaththa” meriwayatkan dari Yazid bin Rauman katanya, “Orang-orang pada zaman Khalifah Umar bin Khattab ra. melakukan salat dengan 23 rakaat.”

36  raka’at
Disebutkan dalam kitab Fathul Bari  bahwa di masa Umar bin Abdul Aziz, kaum muslimin shalat Tarawih hingga 36 rakaat ditambah witir 3 rakaat. Imam Malik berkata bahwa hal itu telah lama dilaksanakan. Dan masih dalam kitab tersebut, Imam Syafi’i dalam riwayat Az-Za’farani mengatakan bahwa ia sempat menyaksikan umat Islam melaksanakan shalat Tarawih di Madinah dengan 39 rakaat dan di Makkah 33 rakaat.
Demikian juga madzab maliki dan penduduk madinah mengerjakan Terawih 36 raka’at.6

Kesimpulan:

  1. Pendapat yang paling kuat tentang jumlah rakaat sholat Tarawih adalah 20 rakaat. Inilah yang dipilih oleh ulama’ Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah.7 Dan pendapat bahwa Tarawih boleh dikerjakan lebih  dari delapan raka’at  telah menjadi ittifaq empat mazhab dan menjadi ijma’ di kalangan ulama’.8 Meski demikian, bagi yang mengerjakan 8 raka’at tetap memiliki landasan berupa dalil-dalil yang nyata.
  2. Pendapat yang mengatakan bid’ah {dhalalah} orang yang mengerjakan Sholat Tarawih lebih dari 8 rakaat atau “ia seperti menambah Sholat dhuhur  menjadi 5 rakaat”, adalah pendapat yang kurang cermat dalam beristidlal. Hendaklah kita sentiasa insaf dan menyedari kemampuan keilmuan diri sendiri di bandingkan dengan ketokohan, keluasan ilmu, kefahaman dan bashirah serta ketinggian ubudiyyah para ulama’ mu’tabar terdahulu dan sekarang.
  3. Bulan Ramadhan ialah bulan beramal yang seharusnya amal ubudiyyah ditingkat dan digandakan karena ganjaran besar yang dijanjikan Allah. Secara zahirnya, tentulah semakin banyak amal kebajikan dibuat, maka semakin besarlah juga ganjaran pahalanya. Walau bagaimana pun, setiap amalan mestilah disertai dengan ikhlas.
Jumlah rakaat Tarawih ini hanyalah masalah furu’iyyah/ khilafiyyah Maka dari itulah  sangat tidak bijak bila kita bertikai, membid’ahkan, apalagi berpecah-belah hanya karena masalah ini.  Syeikhul Islam Ibn Taimiyah berkata dalam menykapi hal ini, “Jika seseorang melakukan sholat Tarawih sebagaimana mazhab Abu Hanifah, As-Syafi’i dan Ahmad yaitu 20 rakaat atau sebagaimana Mazhab Malik yaitu 36 rakaat, atau 13 rakaat, atau 11 rakaat, maka itu yang terbaik. Ini sebagaimana Imam Ahmad berkata, Karena tidak ada apa yang dinyatakan dengan jumlah, maka lebih atau kurangnya jumlah rakaat tergantung pada berapa panjang atau pendek qiamnya.” 9
Dengan demikian, janganlah kita terlalu mempermasalahkan bilangan raka’at dalam shalat Terawih. Sebagaimana Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan, “Sesungguhnya shalat malam tidak memiliki batasan jumlah raka’at tertentu. Shalat malam adalah shalat nafilah {yang dianjurkan}, termasuk amalan dan perbuatan baik. Siapa saja boleh mengerjakan sedikit raka’at. Siapa yang mau juga boleh mengerjakan banyak.”10  
Demikian juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Barangsiapa yang menyangka bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki batasan bilangan tertentu dari Nabi SAW sehingga tidak boleh lebih atau kurang dari 11 raka’at, maka sungguh dia telah keliru.” 11
 
Hal-hal utama dalam pelaksanaan shalat Terawih

1.      Istirahat dalam setiap empat Raka’at
Para ulama sepakat tentang disyariatkannya istirahat setiap melaksanakan shalat Tarawih empat raka’at. Inilah yang sudah turun temurun dilakukan oleh para salaf. Namun tidak mengapa kalau tidak istirahat ketika itu. Boleh istirahat seraya berdoa namun tidak disyariatkan do’a tertentu ketika melakukan istirahat tersebut. Inilah pendapat yang benar dalam madzhab Hambali. 12 Dasar dari hal ini adalah perkataan ‘Aisyah yang menjelaskan tata cara shalat malam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat 4 raka’at, maka janganlah tanyakan mengenai bagus dan panjang raka’atnya. Kemudian beliau melaksanakan shalat 4 raka’at lagi, maka janganlah tanyakan mengenai bagus dan panjang raka’atnya.”13
 
2.      Salam Setiap Dua Raka’at
Para pakar fiqih berpendapat bahwa shalat Tarawih dilakukan dengan salam setiap dua raka’at. Karena Tarawih termasuk shalat malam. Sedangkan shalat malam dilakukan dengan dua raka’at salam dan dua raka’at salam. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits : “Shalat malam adalah dua raka’at dua raka’at.” {Mutafaqun ‘Alaih}
Dan sabda beliau pula “Shalat malam didirikan dua rakaat dua rakaat, jika ia khawatir akan tibanya waktu subuh maka hendaknya menutup dengan satu raka’at.14 Dari hadits tersebut selain isyarat tentang keutamaan shalat sunnah dengan  dua-dua raka’at, juga diisyaratkan bahwa shalat Witir juga dikerjakan dalam 3 raka’at sekaligus. Rasulullah SAW. sendiri juga melakukan cara ini. 15
Ulama-ulama Malikiyah mengatakan, “Dianjurkan bagi yang melaksanakan shalat Tarawih untuk melakukan salam setiap dua raka’at dan dimakruhkan mengakhirkan salam hingga empat raka’at.  Yang lebih utama adalah salam setelah dua raka’at.” 16
 
3.      Berdiri lama (panjang dalam bacaan)
Yang terbaik dari shalat sunnah adalah yang dilakukan oleh Nabi SAW  dengan berdiri agak lama. Sebagaiman Nabi SAW bersabda, “Sebaik-baik shalat adalah yang lama berdirinya.” {HR. Muslim no. 756}.
 Dan dalam riwayat Abu Hurairah : “Nabi SAW melarang seseorang shalat mukhtashiron.” {Mutafaqun ‘Alaih}.
Sebagian ulama menafsirkan ikhtishor {mukhtashiron} dalam hadits ini adalah shalat yang ringkas {terburu-buru}, tidak ada thuma’ninah ketika membaca surat, ruku’ dan sujud, sehingga tidak ada kekhusyu’an dalam shalat. 17

Saudaraku, jika kita memilih melakukan shalat Tarawih 23 raka’at, adalah lebih baik kita meringankannya sebagaimana yang dikerjakan mayoritas ulama.
namun sangat tidak tepat jika shalat 23 raka’at dilakukan dengan kebut-kebutan, bacaan Al Fatihah pun kadang dibaca dengan satu nafas seperti yang dikerjakan sebagian kaum muslimin. Bahkan kadang pula shalat 23 raka’at yang dilakukan lebih cepat selesai dari yang 11 raka’at. Ini sungguh suatu kekeliruan. Seharusnya shalat Tarawih dilakukan dengan penuh Khusyu’ dan Thuma’ninah, seraya penuh ketundukan kepada Allah SWT. Semoga Allah memberi taufik dan hidayah. Wallahu’alam.



1. HR. Bukhari no. 1147 dan Muslim no. 738.
2. HR. Bukhari no. 1138 dan Muslim no. 764.
3. Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Quwaitiyyah, 2/9635.
4. Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9636.
5. Semarang: C.V. Toha Putera, Cetakan Pertama, 1986M, ms. 219-224.
6.  lihat Hasyiyah Fiqh Sunnah: 1/195.
7. Hukum-Hukum Islam Menurut Empat Mazhab, Kiyai Hj. Ab. Hamid Sulaiman, Selangor: Kunjungan Kreatif Sdn. Bhd., Cetakan Pertama, 1995, ms. 76. Lihat juga Al-Kalim ath-Thoyyib: Fatawa ‘Ashriyyah, Syaikh Ali Jum’ah, Cetakan Pertama, 2008,1/51 dan Risalah Tentang Beberapa Soal Khilafiyah, hal. 201-224.
8. Lihat seperti yang dinukilkan oleh Syaikh Muhammad Ali ash-Shabuni di dalam kitabnya Al-Hadi an-Nabawi ash-Shahih fi Solah at-Tarawih.
9. Al-Ikhtiyaaraat halaman 64.
10. At Tamhid, 21/70
11. Majmu’ Al Fatawa, 22/272.
12. Lihat Al Inshof, 3/117.
13. HR. Bukhari no. 3569 dan Muslim no. 738.
14. Al-Lu’lu War Marjan: 432.
15. Syarh Shahih Muslim 6/46-47 dan Muwattha’: 143-144.
16. Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9640
17. Lihat Syarh Bulughul Marom, Syaikh ‘Athiyah Muhammad Salim, 49/3

0 comments:

Post a Comment

◄ Posting Baru Posting Lama ►
 
Powered By Blogger

Formulir Kontak

Name

Email *

Message *

Pembaca

Copyright © 2016. Wawasan dan Kisah Islami - All Rights Reserved My Free Template by Bamz