Para ulama
berbeda pendapat tentang kearah mana seharusnya pandangan mata ketika shalat
dijatuhkan. Sebagian ulama berpendapat bahwa pandangan mata ketika shalat
adalah ke bawah, yakni ke arah tempat sujudnya. Sedangkan sebagian yang lain
berpendapat bahwa pandangan mata ketika shalat adalah ke depan, yaitu bagi para
makmum memandang kepada imamnya.
Pendapat pertama : Memandang
ke tempat sujud
Mayoritas ulama yakni
dari Mazhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa pandangan
mata ketika dalam posisi shalat adalah kearah tempat sujud. Hal ini didasarkan
pada sebuah riwayat dari Abu Hurairah ra : “Adalah dahulu para shahabat Nabi
shalat terkadang mengangkat pandangannya ke langit ketika shalat, sampai
kemudian turun ayat ‘dan orang-orang yang mereka khusyu’ di dalam shalat’ Lalu mereka
menjatuhkan pandangannya ke arah tempat sujud mereka, karena ini lebih
mendekatkan kepada khusyu’.”
Sedangkan dalam
riwayat beliau yang lain : bahwasanya Rasulullah Saw
pernah shalat dengan mengangkat pandangannya ke langit. Maka
turunlah ayat :
الَّذِينَ هُمْ فِي
صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ
“(yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam
shalatnya” (QS. Al-Mukminun : 2).
Maka setelah itu
beliau kemudian menundukkan kepalanya” (HR. Al-Hakim)
Ummul Mukminin Aisyah rah juga
meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw masuk Ka’bah
(untuk mengerjakan shalat) dalam keadaan pandangan beliau tidak meninggalkan
tempat sujudnya (terus mengarah ke tempat sujud) sampai beliau keluar dari
Ka’bah.” (HR. Al-Baihaqi )
Imam Ahmad
berkata : “Khusyu’ di dalam shalat diantaranya adalah dengan cara menjatuhkan
padangan ke tempat sujud.”
Terkecuali –menurut
mazhab ini – dalam shalat khauf (peperangan) maka pandangan seseorang yang
sedang shalat ketika itu adalah kearah kemunculan musuh.[1]
Sedangkan dari
kalangan Syafi’iyah memberikan keterangan tambahan, pandangan mata ketika
shalat pada umumnya memang ke arah tempat sujud, kecuali ketika pada saat
mengisyaratkan jari dikala tasyahud, maka ketika itu pandangan mata adalah kearah
ujung jari telunjuk. Dan dikecualikan
pula dikala shalat jenazah, dikala itu sunnahnya pandanagan mata adalah ke arah
jenazah tersebut.”[2]
Khatib Asyarbini
seorang ulama syafi’iyah mengatakan, “Diriwayatkan dari sebagian jama’ah (syafi’iyah)
bahwa khusus di masjidil haram pandangan mata adalah kearah ka’bah, tetapi
menurutku yeng tepat adalah seperti shalat di tempat yang lain.”[3]
Kalangan
Hanafiyah mengatakan –sebagaimana yang disebutkan oleh pengarang Darr al
Mukhtar – Termasuk dari adab shalat adalah memandang ke arah tempat sujud
ketika posisi berdiri, memandang punggung kakinya ketika ruku’, kearah batang
hidung ketika sujud, kearah pangkuannya ketika duduk, dan kearah pundaknya ketika
memberi salam.
Hal serupa dengan
penjelasan Hanafiyah diatas juga diberikan oleh sebagian ulama Syafi’iyah,
yakni al Baghawi dan Mutawalliy.[4]
Pendapat kedua : Kearah depan
Madzhab Malikiyah berpendapat bahwa
pandangan mata orang shalat adalah ke depan. Hal ini karena firman Allah ta’ala
:
فَلَنُوَلِّيَنَّكَ
قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
“….
Maka sungguh Kami akan memalingkanmu kearah kiblat yang kamu sukai, maka
palingkanlah mukamu kearah Masjidil Haram.” (QS. Al-Baqarah: 144)
Menurut mazhab ini maksud ‘Maka
palingkanlah wajahmu kearah Masjidil Haram,’ adalah perintah yang jelas
agar orang yang sedang shalat menghadapkan wajahnya ke ka’bah, apabila
pandangan orang shalat diarahkan ke tempat sujud, maka membutuhkan posisi
tunduk dan hal ini akan mengganggu kesempurnaan posisi tersebut.[5]
Demikian juga ada beberapa hadits yang
tercantum dalam shahih Bukhari, yang menjadi penguat pendapat ini, bahwa para
shahabat dahulu shalat dan mereka memandang kearah Rasulullah Saw. Sehingga diantara
mereka ada yang meriwayatkan bahwa jangggut beliau bergerak-gerak karena bacaan
dalam shalat.
Kesimpulan
Demikian pandangan para ulama tentang
masalah ini. Meskipun pendapat pertama lebih banyak diikuti oleh kaum muslimin
dan banyak para ulama yang menyatakan ia sebagai pendapat yang kuat, namun kita
harus tetap menghargai mereka yang memegang pendapat seperti kalangan
Malikiyah.
Sedangkan Ibnu Hajar al Asqalani rahimahullah
mencoba menggabungkan dua kubu pendapat dalam masalah ini, beliau mengatakan
: “Memungkinkan bagi kita memisahkan kasus antara imam dan makmum. Disenangi
bagi imam melihat ke tempat sujudnya. Demikian pula makmum, kecuali bila ia
butuh untuk memerhatikan imamnya (guna mencontoh sang imam) Adapun orang yang
shalat sendirian, maka hukumnya seperti hukum imam (yaitu melihat ke tempat
sujud).[6]
[1] Mughni (2/80), Syarh muntaha al Iradat (1/176).
[2] Mughni al Muhtaj (1/180).
[3]
Ibid
[4] Mughni al Muhtaj (1/180).
[5] Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah (32/236).
[6] Fathul Bari
(2/301).
0 comments:
Post a Comment