Saturday 21 July 2012

PANDANGAN MATA KETIKA SHALAT




Para ulama berbeda pendapat tentang kearah mana seharusnya pandangan mata ketika shalat dijatuhkan. Sebagian ulama berpendapat bahwa pandangan mata ketika shalat adalah ke bawah, yakni ke arah tempat sujudnya. Sedangkan sebagian yang lain berpendapat bahwa pandangan mata ketika shalat adalah ke depan, yaitu bagi para makmum memandang kepada imamnya.
Pendapat pertama : Memandang ke tempat sujud
Mayoritas ulama yakni dari Mazhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa pandangan mata ketika dalam posisi shalat adalah kearah tempat sujud. Hal ini didasarkan pada sebuah riwayat dari Abu Hurairah ra : “Adalah dahulu para shahabat Nabi shalat terkadang mengangkat pandangannya ke langit ketika shalat, sampai kemudian turun ayat ‘dan orang-orang yang mereka khusyu’ di dalam shalat’ Lalu mereka menjatuhkan pandangannya ke arah tempat sujud mereka, karena ini lebih mendekatkan kepada khusyu’.”
Sedangkan dalam riwayat beliau yang lain : bahwasanya Rasulullah Saw pernah shalat dengan mengangkat pandangannya ke langit. Maka turunlah ayat :
الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ
“(yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya” (QS. Al-Mukminun : 2).   
Maka setelah itu beliau kemudian menundukkan kepalanya”  (HR. Al-Hakim)
Ummul Mukminin Aisyah rah juga meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw masuk Ka’bah (untuk mengerjakan shalat) dalam keadaan pandangan beliau tidak meninggalkan tempat sujudnya (terus mengarah ke tempat sujud) sampai beliau keluar dari Ka’bah.” (HR. Al-Baihaqi )
Imam Ahmad berkata : “Khusyu’ di dalam shalat diantaranya adalah dengan cara menjatuhkan padangan ke tempat sujud.”
Terkecuali –menurut mazhab ini – dalam shalat khauf (peperangan) maka pandangan seseorang yang sedang shalat ketika itu adalah kearah kemunculan musuh.[1]
Sedangkan dari kalangan Syafi’iyah memberikan keterangan tambahan, pandangan mata ketika shalat pada umumnya memang ke arah tempat sujud, kecuali ketika pada saat mengisyaratkan jari dikala tasyahud, maka ketika itu pandangan mata adalah kearah ujung jari telunjuk.  Dan dikecualikan pula dikala shalat jenazah, dikala itu sunnahnya pandanagan mata adalah ke arah jenazah tersebut.”[2]
Khatib Asyarbini seorang ulama syafi’iyah mengatakan, “Diriwayatkan dari sebagian jama’ah (syafi’iyah) bahwa khusus di masjidil haram pandangan mata adalah kearah ka’bah, tetapi menurutku yeng tepat adalah seperti shalat di tempat yang lain.”[3]
Kalangan Hanafiyah mengatakan –sebagaimana yang disebutkan oleh pengarang Darr al Mukhtar – Termasuk dari adab shalat adalah memandang ke arah tempat sujud ketika posisi berdiri, memandang punggung kakinya ketika ruku’, kearah batang hidung ketika sujud, kearah pangkuannya ketika duduk, dan kearah pundaknya ketika memberi salam.
Hal serupa dengan penjelasan Hanafiyah diatas juga diberikan oleh sebagian ulama Syafi’iyah, yakni al Baghawi dan Mutawalliy.[4]
Pendapat kedua : Kearah depan
Madzhab Malikiyah berpendapat bahwa pandangan mata orang shalat adalah ke depan. Hal ini karena firman Allah ta’ala :
فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
 “…. Maka sungguh Kami akan memalingkanmu kearah kiblat yang kamu sukai, maka palingkanlah mukamu kearah Masjidil Haram.” (QS. Al-Baqarah: 144)
Menurut mazhab ini maksud ‘Maka palingkanlah wajahmu kearah Masjidil Haram,’ adalah perintah yang jelas agar orang yang sedang shalat menghadapkan wajahnya ke ka’bah, apabila pandangan orang shalat diarahkan ke tempat sujud, maka membutuhkan posisi tunduk dan hal ini akan mengganggu kesempurnaan posisi tersebut.[5]
Demikian juga ada beberapa hadits yang tercantum dalam shahih Bukhari, yang menjadi penguat pendapat ini, bahwa para shahabat dahulu shalat dan mereka memandang kearah Rasulullah Saw. Sehingga diantara mereka ada yang meriwayatkan bahwa jangggut beliau bergerak-gerak karena bacaan dalam shalat.
Kesimpulan
Demikian pandangan para ulama tentang masalah ini. Meskipun pendapat pertama lebih banyak diikuti oleh kaum muslimin dan banyak para ulama yang menyatakan ia sebagai pendapat yang kuat, namun kita harus tetap menghargai mereka yang memegang pendapat seperti kalangan Malikiyah.
Sedangkan Ibnu Hajar al Asqalani rahimahullah mencoba menggabungkan dua kubu pendapat dalam masalah ini, beliau mengatakan : “Memungkinkan bagi kita memisahkan kasus antara imam dan makmum. Disenangi bagi imam melihat ke tempat sujudnya. Demikian pula makmum, kecuali bila ia butuh untuk memerhatikan imamnya (guna mencontoh sang imam) Adapun orang yang shalat sendirian, maka hukumnya seperti hukum imam (yaitu melihat ke tempat sujud).[6] 


[1] Mughni (2/80), Syarh muntaha al Iradat (1/176).
[2] Mughni al Muhtaj (1/180).
[3] Ibid
[4] Mughni al Muhtaj (1/180).
[5] Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah (32/236).
[6] Fathul Bari (2/301).

0 comments:

Post a Comment

◄ Posting Baru Posting Lama ►
 
Powered By Blogger

Formulir Kontak

Name

Email *

Message *

Pembaca

Copyright © 2016. Wawasan dan Kisah Islami - All Rights Reserved My Free Template by Bamz