Wednesday 6 June 2012

ISTILAH DALAM ILMU FIQIH




Esensi ilmu agama seperti ilmu tauhid, hadits, tafsir dan termasuk fiqih, semuanya bersumber dari al Qur’an dan sunnah Nabi. Karena kemunculan ilmu-ilmu tersebut adalah dalam upaya untuk menjaga dan melestarikan dua sumber agama tersebut.
Sebagaimana kita ketahui, al Qur’an tidaklah turun dalam model kitab undang-undang yang ‘siap pakai’. Tetapi ia turun dalam bentuk yang dikehendaki Allah, yang mana ayat demi ayatnya masih perlu ditafsirkan, diurai kata perkata, di hubungkan ayat satu sama lainnya, untuk kemudian disimpulkan hukum yang terkandung di dalamnya.
Sedangkan Hadits lebih repot lagi, sebelum bisa diolah menjadi sebuah menu  ‘siap saji’, Hadits-hadits tersebut harus terlebih dahulu melalui proses validasi, seleksi, verifikasi dan kodifikasi yang sangat canggih yang disebut Musthalah Hadits. Hal ini untuk memisahkan antara hadits yang asli dan yang palsu, antara yang bisa digunakan, tidak bisa digunakan, atau yang bisa digunakan tetapi dengan syarat.
Untuk bisa melakukan aktifitas tersebut, tentunya dibutuhkan kaidah-kaidah yang tertata dengan baik. Nah, disitulah kemudian para ulama berijtihad, mereka menyusun kaidah cara menafsirkan ayat, cara memilih hadits, cara mengambil kesimpulan hukum, dan lain sebagainya. Yang kemudian kaidah-kaidah tersebut melahirkan berbagai disiplin ilmu yang sangat banyak, diantaranya adalah limu fiqih.[1]
Istilah dalam ilmu Fiqih adalah bersumber dari al Qur’an dan as Sunnah
Dalam ilmu fiqih memang dikenal istilah-istilah sebagaimana cabang ilmu yang lainnya.  Peristilahan dalam ilmu ini mungkin tidak secara langsung disebutkan dalam al Qur’an dan al Hadits, meskipun juga tidak serta merta bisa dikatakan bukan bersumber dari keduanya. Karena ketika ulama membuat istilah-istilah tersebut adalah dalam upaya menangkap makna lalu mendefinisikan hukum perintah atau larangan dari sebuah ayat atau hadits.
Karena istilah yang digunakan oleh Allah dan Rasulnya dalam memerintah dan melarang, tidaklah dengan menggunakan satu istilah semisal kata wajib atau haram.  Ada kalanya Allah Swt dan Rasulullah Saw menggunakan istilah haram untuk melarang, namun ada kalanya menggunakan istilah lain, seperti 'Janganlah', 'Jauhi', 'Tinggalkanlah'. Bahkan dengan alasan tertentu, Allah Swt terkadang menggunakan kata perintah, padahal esensinya larangan. Yang tentunya hal ini tidak akan bisa dipahami tanpa ilmu dan kaidah.
Perhatikan ayat berikut ini : Diharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan yang disembelih untuk berhala...” (QS. Al-Maidah: 3)
Ayat diatas menggunakan istilah 'haram' untuk sesuatu yang terlarang, yaitu haram hukumnya untuk memakan bangkai, darah daging babi dan seterusnya.
Lalu bandingkan dengan ayat berikut ini :
"(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam masjid." (Al-Baqarah: 187)
Diayat ini, Allah tidak menggunakan kata haram, tetapi hanya mengatakan ‘jangan’.
Namun, kedua ayat tersebut sama-sama disimpulkan oleh para ulama sebagai bentuk larangan keras atau istilah fiqihnya disebut haram.
Diantara Istilah Fiqih
Dari istilah-istilah Fiqih  ada yang sudah sangat familiar seperti istilah haram, wajib, sunnah, makruh  dan mubah, tetapi kebanyakan istilah fiqih mungkin masih sangat asing di telinga kebanyakan kita. Jadi, bila ditanyakan apakah ada istilah lain selain yang telah disebutkan diatas dalam ilmu fiqih, jawabannya : sangat banyak, diantaranya yaitu :
1. Wajib /Fardhu
Lazimnya istilah Wajib  dimaknai dengan :  suatu perkara yang harus dilakukan  seorang mukmin, mengerjakannya berpahala sedangkan meninggalnya adalah berdosa.
Fardhu dan wajib mempunyai makna yang sama menurut jumhur ulama selain kalangan Hanafiyyah. Menurut mazhab Hanafi, pengertian Fardhu adalah kewajiban yang dituntut dengan dalil yang Qath’I (pasti), semisal shalat, haji dan zakat. Sedangkan wajib adalah kewajiban yang dituntut dengan dalil zhanni (ada kesamaran) seperti khitan, akikah dll.[2]
Wajib atau fardu terdiri atas dua jenis yaitu :
- Wajib 'ain (fardu ‘ain) adalah suatu hal yang harus dilakukan oleh semua orang muslim mukalaf seperti shalat fardu, puasa ramadan, zakat, haji bila telah mampu dan lain-lain.
- Wajib Kifayah adalah perkara yang harus dilakukan oleh muslim namun jika sudah ada yang malakukannya maka menjadi tidak wajib lagi bagi yang lain seperti mengurus jenazah.
2. Sunnah/mandub
Sunnat adalah suatu perkara yang bila dilakukan akan mendapat pahala dan jika tidak dilaksanakan tidak berdosa.
Dalam pengertian lain, sunnah didefinisikan dengan : Sesuatu yang dituntut oleh syariat supaya dilakukan, tetapi tuntutan itu bukan tuntutan pasti, atau diberikan pujian kepada yang mengerjakannya dan yang meninggalkan tidak dicela.[3]
Jumhur ulama selain kalangan Malikiyyah menyamakan istilah sunnah dengan mandub, nafilah,mustahab, tathawu’, murghab fih,ihsan, dan husn.[4]
Contoh amaliayah yang dihukumi sunnah/ mandub adalah seperti saolat sunnat, puasa senin kamis, shalat tahajud, memelihara jenggot, dan lain sebagainya.
Sunah terbagi atas dua jenis/macam:
- Sunah Mu'akkad adalah sunnat yang sangat dianjurkan Nabi Muhammad SAW seperti shalat ied dan shalat tarawih.
- Sunat Ghairu Mu'akad yaitu adalah sunnah yang jarang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW seperti puasa senin kamis, dan lain-lain.
3. Haram
Haram adalah suatu perkara yang mana tidak boleh sama sekali dilakukan, karena jika dilakukan akan mendapat dosa dan siksa di neraka kelak. Contohnya  seperti bermain judi, minum minuman keras, zina, durhaka pada orang tua, riba, membunuh, fitnah, dan lain-lain.
Haram juga diistilahkan sebagai perkara yang dituntut untuk ditinggalkan syara’ dengan tuntutan yang jelas dan pasti.[5]
4. Makruh
Makruh adalah suatu perkara yang dianjurkan untuk tidak dilakukan akan tetapi jika dilakukan tidak berdosa dan jika ditinggalkan akan mendapat pahala dari Allah Swt.
Menurut Mazhab Hanafi, makruh terbagi menjadi dua, yaitu makruh tahrim dan makruh tanzih. Makruh tahrim yaitu makruh yang dilarang dengan dalil yang tidak pasti, contohnya : bertunangan dengan tunangan orang lain.  Sedangkan makruh tanzih yaitu larangan melalui larangan yang tidak pasti dan tidak mengisyaratkan adanya hukuman, seperti memakan daging kuda dan berwudhu dari bejana.
Sedangkan jumhur ulama memandang makruh hanya satu jenis saja.[6]
5. Mubah
Mubah adalah suatu perkara yang jika dikerjakan seorang muslim mukallaf tidak akan mendapat dosa dan tidak mendapat pahala. Contoh : makan dan minum, belanja, bercanda, melamun, dan lain sebagainya.
Hukum asal dari segala sesuatu adalah mubah selama tidak ada larangan atau pengharaman. Hukumnya adalah tidak ada pahala dan tidak ada hukuman (siksa) bagi orang yang melakukannya, ataupun orang yang meninggalkannya. Kecuali dalam kasus apabila meninggalkan perkara mubah itu akan menyebabkan kebinasaan. Dalam keadaan seperti itu, makan menjadi wajib, dan meninggalkannya adalah haram untuk menjaga nyawa.[7]
6. Syarat
Syarat ialah yang adanya sesuatu yang lain bergantung pada adanya, dan ia merupakan unsur luar dari hakikat sesuatu itu. Umpamanya adalah wudhu menjadi syarat bagi shalat, padahal ia ia merupakan unsur luar dari amalan shalat.[8]
7. Rukun
Rukun menurut ulama’ Hanafi adalah sesuatu yang kewujudan sesuatu yang lain adalah bergantung padda kewujudannya, dan ia merupakan bagian dari hakikat itu. Menurut jumhur, rukun ialah perkara yang menjadi asas bagi kewujudan sesuatu, meskipun ia berada diluar hakikat sesuatu itu.[9]
Demikian diantara istilah – istilah dalam fiqih yang perlu kita ketahui, adapun istilah lainnya seperti mani’,  as-sabab, sah,batal, ada’, I’adah, qada’ dan lainnya insyallah akan kita bahas diedisi mendatang.
Wallahu a’lam.


[1] Untuk menyimak lebih jauh tentang hal ini silahkan rujuk kepada pembahasan kami tentang : Sejarah berdirinya disiplin ilmu-ilmu Diniyyah (agama).
[2] Fiqh al Islami wa Adilatuhu,1/62.
[3] Fiqh al Islami wa Adilatuhu,1/62.
[4] Hasyiah Ibn Abidin,I/115.
[5] Fiqh al Islami wa Adilatuhu,1/63.
[6] Fiqh al Islami wa Adilatuhu,1/63.
[7] Ibid
[8] Fiqh al Islami wa Adilatuhu,1/63.
[9] Ibid
Sumber :  http://ad-dai.blogspot.com/

0 comments:

Post a Comment

◄ Posting Baru Posting Lama ►
 
Powered By Blogger

Formulir Kontak

Name

Email *

Message *

Pembaca

Copyright © 2016. Wawasan dan Kisah Islami - All Rights Reserved My Free Template by Bamz