Pengertian Mashalih Mursalah
Suatu kaidah fiqhiyyah menyatakan bahwa
“menolak kerusakan/kemadharatan itu lebih diutamakan daripada mendatangkan
kemashlahatan”. Dari kaidah tersebut dapat ditarik benang merah bahwa muara
dari terbentuknya fiqh (hukum Islam) adalah maslahah. Secara etimologi,
masalahah merupakan bentukan dari kara shalaha, yashluhu, shulhan,
shilahiyyatan, yang berarti faedah, kepentingan, kemanfaatan dan
kemaslahatan.
Sedangkan secara terminologi, maslahah
diartikan sebagai sebuah ungkapan mengenai suatu hal yang mendatangkan manfaat
dan menolak kerusakan/kemadharatan. Namun pengertian tersebut bukanlah
pengertian yang dimaksudkan oleh ahli ushul dalam terminologi mashalih
al-mursalah. Menurut pendapat mereka maslahah –dalam term mashalih
al-mursalah– adalah al-muhafazhah ‘ala maqasid al-syari’ah (memelihara/melindungi
maksud-maksud hukum syar’i).
Macam-macam Maslahah
a. Macam-Macam Maslahah Berdasarkan
Tingkatannya.
Berdasarkan pandangan syar’i dan
dalil-dalil nash serta untuk menjaga maqashid al-syari’ah, para ulama
menggolongkan maslahah menjadi tiga tingkatan:
a) Maslahah Dhoruriyyat
Yaitu maslahah yang ditetapkan demi
keberlangsungan hidup manusia di dunia maupun diakherat. Sekiranya maslahah ini
tidak terealisisir, maka hilanglah kehidpan manusia di dunia, hilanglah
kenikmatan dan tersiksalah di akherat. Maslahah ini meliputi lima hal yang
telah disebutkan di atas, yang menjadi maqasid al-syari’ah.
b) Maslahah Hajiyyat
Yaitu maslahah yang dibutuhkan oleh
manusia hanya untuk menghilangkan kesulitan pada dirinya. Sekiranya maslahah
tersebut tidak tercapai, maka hidup manusia akan merasa kesulitan dan
kesusahan, tidak sampai menghilangkan kehidupannya. Maslahah ini terdapat pada
masalah furu’ yang bersifat mu’amalah, –seperti jual beli– serta berbagai macam
keringanan (rukhsoh) yang telah ditetapkan oleh syari’, misalnya menjama’ dan
menqashar shalat bagi musafir, berbuka bagai orang orang hamil dan menyusui dan
lain sebagainya.
c) Maslahah Tahsiniyyat
Yaitu maslahah yang dimaksudkan untuk
memperbaiki adat kebiasaan dan memulyakan akhlak manusia. Seperti bersuci
ketika akan melakukan shalat, memakai perhiasan, wangi-wangian, haramnya
makanan yang kotor danlain sebagainya.
Oleh karena itu hukum-hukum yang
mengandung kemashlahatan dhorury menjadi lebih penting untuk didahulukan
dan dijaga daripada hukum-hukum yang bersifat hajjiyat apalagi yang bersifat tahsiniy/takmily.
b. Macam-Macam Maslahah Berdasarkan Pandangan Syari’
Berdasarkan adanya pengakuan dan penolakan dalil terhadap
suatu maslahah, maka para ulama
membagi maslahah menjadi tiga macam, yakni:
a) Maslahah Mu’tabaroh
Yaitu kemaslahatan yang diakui oleh
syari’ dan terdapat dalil yang menetapkannya. Maslahah ini dapat dijadikan
hujjah hukum, tidak diragukan lagi keabsahannya, serta tidak ada perselisihan
dalam mengamalkannya. Pengamalan maslahah ini disebut qiyas.
b) Maslahah Mulghoh
Yaitu maslahah yang tidak didukung oleh
syar’i, akan tetapi ditolak dan ditentang oleh syar’i. Artinya tatkala nash
menghukumi suatu peristiwa karena adanya kemslahatan di dalamnya, kemudian
sebagian orang menghukumi peristiwa tersebut dengan merubah ketetapan syar’i
karena kemaslahatan yang mereka perkirakan (wahm).
Hukum semacam ini ditolak, karena maslahah yang mereka perkirakan tesebut
ditentang oleh syar’i. Penetapan suatu hukum tidak dapat didasarkan pada
maslahah terebut karena hal itu bertentangn dengan maqashid al-syari’ah.
Misalnya persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal pembagian warisan
dengan alasan maslahah yang mereka perkirakan. Hal itu bertentangan dengan
firman Allah dalam surat al-nisa’ ayat 11:
c) Maslahah Mursalah
Yaitu maslahah yang tidak ditemukan
dalil yang mendukungnya dan tidak ada pula yang menentangnya. Suatu peristiwa yang
belum terdapat hukumnya di dalam nash, dan tidak ada pula ‘illat yang dapat
diqiyaskan dengan nash, akan tetapi terdapat sesuatu yang sesuai dengan nash
dalam pensyari’atannya –artinya pensyari’atan hukum tersebut dapat mendatangkan
kemaslahatan/manfaat dan menolak kemadharatan– yang kemudian hal ini oleh para
ulama diistilahkan dengan mashalih al-mursalah. Dinamakan maslahah
karena mendatangkan manfaat dan kebaikan serta menolak kemadharatan; dan
dinamakan mursalah karena tidak terdapat nash (dalil) yang mendukung ataupun
menentangnya. Jadi pada hakikatnya maslahah mursalah
adalah segala sesuatu yang mendatangkan kemanfaatan yang telah termaktub dalam
maqashid al-syari’ akan tetapi tidak didukung oleh adanya dalil.
Antara
Al-Istihsan dan Al-Mashalih sangat erat kaitannya, sehingga kasus seperti yang
terjadi pada masa Sayyidina Umar ketika ada orang yang mengatakan “anti
thaaliqun tsalaatsan” (kamu aku talaq tiga), maka Sayyidina Umar menentukan
jatuh tiga thalaqnya. Padahal, dimasa sebelumnya hal tersebut dihukumi satu
talaq saja yang jatuh. Ini merupakan suatu perlawanan yang terkesan ekstrim
dari seorang Umar ibn Khattab. Ketika ditanya mengapa beliau berani mengubah
ketentuan Rasulullah, maka dijawab oleh Sayyidina Umar : “Bahwa dulu ketika
Rasulullah menjadi pemimpin, rakyatnya adalah orang-orang sepertiku. Sedangkan
sekarang pada masa kekhalifahanku, rakyatnya adalah kalian yang jauh lebih
buruk dari orang-orang sepertiku pada masa itu. Pada masa itu (masa hidupnya
Rasulullah), kami akan berpikir berkali-kali untuk mengucapkan thalaq. Tetapi
pada masa kekhalifahanku ini, kalian begitu mudahnya untuk mengucapkan thalaq,
walaupun hanya karena persoalan yang sepele. Sekarang, biar kalian tidak lagi
terlalu mudah untuk mengucapkan thalaq, maka akan kujatuhkan thalaq tiga
sekaligus jika kalian mengucapkan menthalaq tiga. Ini adalah untuk kebaikan
kalian semuanya, sehingga kalian tidak gampang menjatuhkan thalaq.”
Dalam
hal ini, Sayyidina Umar tidak sembarangan, karena ia mempunyai pegangan, yaitu
bahwa perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah thalaq. Apa yang
dilakukan oleh Sayyidina Umar tersebut adalah mashalih, karena berangkat dari
kebaikan-kebaikan untuk kebaikan-kebaikan. Hal ini takkan dijumpai di dalam
teks-teks Alquran, Hadis, Ijma’, ataupun Qiyas. Sehingga dalam kasus ini, hukum
Islam akan stagnan jika tidak menggunakan sumber hukum seperti mashalih. Dari
sini dapatlah kita pahami, bahwasanya sumber hukum Islam yang digunakan oleh
para ulama, bahkan di zaman Rasulullah, di antaranya adalah mashalih.
Maqashid
tersebut dianggap sebagai barometer untuk menentukan apakah suatu masalah itu
termasuk maslahat (kebaikan) atau mafsadat (keburukan), yang itu harus ditinjau
dari maqashid atau maqshad atau tujuan dari ketentuan yang ditentukan oleh
Allah dan Rasul-Nya.
Para
ulama kemudian menyimpulkan bahwasanya maqashid itu ada lima :
Pertama, maqashid hifzhud-din,
yaitu tujuannya adalah menjaga agama. Salah satu contohnya adalah dianjurkannya
kita berjihad ketika jihad itu memang diperlukan untuk menjaga agama. Sebab
kalau tidak, umat Islam mungkin akan dibantai sehingga akan habis. Kalau
pemeluk agama Islam habis, maka agama Islam juga akan habis. Namun kadang kita
mengartikan “jihad” itu seenaknya saja, padahal jihad adalah suatu ketentuan
yang sangat sakral dan sangat mulia.
Kedua, maqashid hifzhun-nafsi,
yaitu menjaga diri. Tujuan syari’ (tujuan Allah) menentukan suatu ketentuan
hukum adalah untuk menjaga diri. Misalkan mengenai ketentuan qishash. Qishash
adalah membunuh seseorang yang memang sudah layak untuk dibunuh. Ketika ada
seseorang yang membunuh tanpa adanya kejelasan, sehingga perbuatannya tersebut
merupakan perbuatan yang sangat salah, maka hukum terhadap orang yang membunuh
tersebut adalah qishash. Ditentukan dan dianjurkannya qishash ini pada
prinsipnya adalah menjaga diri. Mengapakah qishash itu dianggap menjaga diri,
sedangkan qishash itu sendiri merupakan membunuh?
Allah
menyatakan, bahwasanya qishash itu adalah “hayaatun ya ulil albab” (qishash itu
adalah kehidupan bagi kalian). Mungkin jika suatu saat kita sedang berada di
Saudi Arabia, maka akan begitu terasa bahwa qishash merupakan suatu kehidupan.
Biasanya pada hari Jum’at setelah imam mengucapkan salam, maka tiba-tiba ada
pengumuman, maka itu pasti akan diadakannya hukum qishash, atau paling tidak
potong tangan ataupun rajam. Diumumkan juga kepada seluruh umat Islam yang ada
ketika itu dianjurkan untuk melihat pelaksanaan hukum qishash tersebut. Ketika
melihat pelaksanan hukum qishash tersebut, mungkin akan begitu terasa di hati
kita, mudah-mudahan kita diberi perlindungan oleh Allah agar tidak membunuh
orang, karena hukumnya sangat berat. Inilah dampak psikis dari hukum qishash
yang kita lihat itu. Sehingga orang yang melihat pelaksanaan hukuman tersebut,
maka akan tertahan untuk melakukan tindak pidana. Inilah yang dikehendaki oleh
Allah, bahwa qishash itu sebetulnya merupakan kehidupan bagi umat manusia.
Ketiga, maqashid hifzhul-aqli,
menjaga pikiran (akal) agar selalu jernih. Karena itu, disyariatkanlah ketentuan
hukuman (had) bagi orang yang mabuk (baik itu karena minuman keras ataupun
narkoba). Sehingga, tujuan dari mengapa orang yang mabuk ataupun menenggak
narkoba itu dihukum adalah agar tidak melakukan hal tersebut, sehingga otak ini
tetap jernih.
Keempat,
maqashid hifzhun-nasab, yaitu menjaga keturunan. Menjaga keturunan yang
dimaksud di antaranya menjaga nasab dalam bentuk perintah dan menjaga nasab
dalam bentuk larangan. Menjaga nasab dalam bentuk perintah salah satunya adalah
menikah. Jadi, menikah itu adalah ketentuan dan perintah Allah dan Rasul-Nya
seperti juga ketentuan dalam perintah-perintah yang lainnya. Sehingga kalau ada
orang yang mengatakan bahwa nikah itu hanya untuk meredam nafsu seksual, maka
berarti orang tersebut tidak paham pada syariat, karena sesungguhnya nikah
merupakan perintah Allah untuk menjaga keturunan, dalam hal ini tentunya
keturunan yang terhormat. Dalam bentuk larangan yaitu ketentuan dilarangnya
melakukan perzinahan dan dianjurkannya menghukum orang-orang yang berzinah.
Kelima, maqashid hifzhun-maal,
menjaga harta. Ada yang berbentuk anjuran, yaitu seperti perintah untuk bekerja
mencari nafkah yang halal, yang hal ini sama dengan ibadah yang diperintahkan
seperti dalam bentuk salat. Tujuan dari diperintahkannya bekerja adalah untuk
menjaga harta. Selain itu, ada juga dalam bentuk larangan, yaitu larangan
bahkan dihukumnya orang-orang yang mencuri dengan cara dipotong tangannya.
Inilah
lima maqashid, yang kemudian disempurnakan lagi oleh para ulama menjadi enam,
yaitu maqashid hifzhul-’irb, yaitu tujuan menjaga kehormatan. Sehingga dalam
hal ini, misalkan dilarang dan dihukumnya orang-orang yang melakukan qadhab dan
li-an. Qadhab adalah menuduh orang lain berzina. Seseorang yang menuduh orang
lain berzina yang itu tanpa adanya empat orang saksi, maka orang tersebut
(orang yang menuduh) harus dihukum. Sehingga seseorang tidak seenaknya saja
menuduh orang lain berzina. Kalau tuduhan tersebut kepada istrinya, maka
dinamakan li-an.
Jika
menuduh orang lain berzina yang kemudian tidak bisa membuktikan dengan empat
orang saksi, maka orang yang menuduh tersebut akan dijatuhi hukuman cambuk.
Mengapa seperti ini? Karena kehormatan orang Islam itu terjaga, tidak seenaknya
saja menuduh orang lain melakukan perbuatan yang tidak terhormat. Bagi seorang
suami yang menuduh istrinya melakukan perbuatan zina, maka si suami yang
menuduh tersebut harus bisa membuktikan dengan bersumpah empat kali sebagi
ganti dari empat orang saksi.
Kalau
bersumpah atas nama Allah, maka taruhannya adalah surga dan neraka. Kalau
bersumpah tidak dengan nama Allah, misalkan “demi langit dan bumi”, maka orang
tersebut kafir. Jadi, konsekuensi bersumpah itu sangat berat. Sehingga orang
yang dimintai sumpahnya itu sebetulnya jauh lebih berat daripada menghadirkan
saksi. Dari hal ini dapatlah kita lihat, bahwa begitu kerasnya syariat menjaga
kehormatan orang Islam.
Persoalan
ini begitu pentingnya kita ketahui. Mengenai Alquran dan Hadis mungkin sudah
sering kita dengar, tetapi hukum-hukum yang seperti ini mungkin jarang ataupun
tak pernah kita dengar. Dan ini adalah ketentuan yang secara nyata terjadi pada
para ulama.
Kehujjahan Mashlahah
mursalah
Dalam penetapan hukum Islam sumber
rujukan utamanya adalah al-Qur’an dan Sunnah. Sedang sumber sekundernya adalah
ijtihad para ulama. Setiap istinbath (pengambilan hukum) dalam syari’at
Islam harus berpijak atas al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Ini berarti dalil-dalil
syara’ ada dua macam, yaitu: nash dan goiru al-nash. Dalam
menetapkan suatu hukum, seorang ahli hukum harus mengetahui prosedur cara penggalian
hukum (thuruq al-istinbath) dari nash. Cara penggalian hukum (thuruq
al-istinbath) dari nash ada dua macam pendekatan, yaitu: pendekatan
makna (thuruq al-ma’nawiyah) dan pendekatan lafazh (thuruq
al-lafzhiyah). Pendekatan makna adalah (istidlal) penarikan
kesimpulan hukum bukan kepada nash langsung, seperti menggunakan qiyas,
istihsan, istislah (mashalih al-mursalah), dan lain sebagainya.
Di antara istinbath al-ahkam goiru
al-nash tersebut di atas, ada beberapa yang telah disepakati oleh para ulama
–seperti ijma’ dan qiyas– dan ada yang masih diperselisihkan kehujjahannya
sebagai salah satu sumber hukum Islam, salah satunya adalah mashalih
al-mursalah (istislah).
Maslahah mursalah digunakan oleh beberapa ulama ushul fikih dengan istilah yang berbeda-beda. Sebagian ulama mengunakan istilah al-munasib al-mursal. Ada juga ulama yang menggunakan istilah istishlah seperti al-Ghazali, dan ada pula yang menggunakan istidlal al-mursal seperti Izzuddin bin Abdissalam. Istilah-istilah tersebut meskipun tampak berbeda namun memiliki satu tujuan. Perbedaan istilah disebabkan cara pandang yang berbeda-beda. Penggunaan istilah mashalih mursalah jika dilihat dari segi apakah mashlahah tersebut didasarkan pada dalil atau tidak. Adapun istilah al-munasib al-mursal jika dilihat dari segi kesesuaiannya dengan tujuan syara'. Sementara istilah istidladlal digunakan lebih merujuk pada proses penetaapan hukum terhadap suatu mashlahah yang tidak terdapat dalil khusus dari nash (al-Bouti, 2001:287).
Para ulama ushul fikih sepakat bahwa mashlahah mursalah tidak sah menjadi landasan hukum dalam aspek ibadah, karena aspek ibadah bisa dilogika (ghair ma'qul ma'na), ia harus diamalkan sebagaimana adanya didapatkan dari Rasulullah SAW.
Dalam bidang muamalat mereka berbeda pendapat. Kalangan Zahiriyah dan sebagian dari kalangan Syafiiyyah tidak mengkui maslahah sebagai landasan pembentukan hukum, dengan alasan seperti yang dikemukakan Abd al-Wahhab Khallaf (1972:94) sebagai berikut:
1. Allah SWT dan Rasul-Nya telah merumuskan ketentuan-ketentuan hukum yang menjamin segala bentuk kemaslahatan umat manusia. Menetapkan hukum berdasarkan mashlahah mursalah, berarti menganggap syariat Islam tidak lengkap karena menganggap masih ada mashlahah yang belum tertampung dalam hukum-hukumnya.
2. Membenarkan mashlahah mursalah sebagai landasan hukum berari membuka pintu bagi berbagai pihak untuk menetapkan hukum menurut seleranya dengan alasan untuk meraih kemaslahatan. Praktik yang demikian akan merusak citra agama.
Dengan alasan-alasan tersebut mereka menolak mashlahah mursalah sebagai landasan hukum. Sementara Malikiyah, Hanabilah dan sebagian Syafiiyyah berpendapat bahwa mashlahah mursalah secara sah dapat diajdikan sebagai landasan penetapan hukum. Di antara alasan yang mereka kemukakan adalah:
1. Syariat Islam diturunkan, seperti disimpulkan para ulama berdasarkan petunjuk-petunjuk al-Quran dan al-Sunnah bertujuan untuk merealisasikan kemashlahatan dan kebutuhan umat manusia.
Kebutuhan
umat manusia itu lalu berkembang, yang tidak mungkin kesemuanya itu dirinci
dalam al-Quran dan al-sunnah. Namun secara umum syariat Islam telah memberi
petunjuk bahwa tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan umat manusia. Oleh
karena itu apa yang dianggap mashlahah, selama tidak bertentangan deang
al-Quran dan al-sunnah sah dijadikan landasan hukum.
2. Para sahabat mengakui keberadaan mashlahah mursalah sebagai landasan penetapan hukum tanpa ada seorangpun yang membantahnya. Abu Bakar pernah mengumpulkan dan membukukan al-Quran. Umar bin Khattab tidak menerapkan sangsi potong tangan terhadap pencuri si saat krisis ekonomi. Praktik ini tidak pernah dicontohkan Nabi SAW.
2. Para sahabat mengakui keberadaan mashlahah mursalah sebagai landasan penetapan hukum tanpa ada seorangpun yang membantahnya. Abu Bakar pernah mengumpulkan dan membukukan al-Quran. Umar bin Khattab tidak menerapkan sangsi potong tangan terhadap pencuri si saat krisis ekonomi. Praktik ini tidak pernah dicontohkan Nabi SAW.
Berdasarkan alasan di atas kalangan Malikiyah, Hanabilah dan sebagian Syafiiyah menganggap bahwa mashlahah mursalah bisa dijadikan landasan penetapan hukum. Adapun alasan-alasan yang dikemukakan oleh pihak-pihak yang tidak menyetujui mashlahah mursalah sebagai landasan hukum dianggap lemah oleh pihak pendukung mashlahah mursalah. Dalam kenyataanya tidak semua kebutuhan manusia terdapat rinciannya di dalam al-Quran dan al-Sunnah. Di sisi lain, penetapan hukum berlandaskan mashlahah mursalah membutuhkan beberapa persyaratan yang cukup ketat. Dengan persyaratan yang ada akan terhindar dari penyalahgunaan.
Imam Ghazali (1997:421) mengemukakan beberapa persyaratan dan menggunakan mashlahah mursalah sebagai landasan hukum yaitu:
1. Mashlahat tersebut merupakan mashlahah dlaruri.
2. Mashlahah tersebut harus kully, yangkni mencakup semua orang muslim.
3. Mashlahah tersebut harus qath'i atau mendekati qath'ii.
Mashlahah Mursalah Menurut Malikiyah
Di
antara tokoh ushul fikih yang banyak mempergunakan mashlahah mursalah sebagai
penetapan hukum adalah Imam al-Syatibi. Beliau merupakan pengikut mazhab
Maliki. Pandangan al-Syatibi tentang mashalahah mursalah dapat dijumpai dalam
bukunya al-Muwafaqat dan al-I'tisham.dalam kitab al-Muwafaqat, al-Syatibi
mengemukakan bahwa setiap prinsip hukum Islam yang berhubungan dengan mashlahah
dan tidak ditunjukkan oleh nash tertentu, tetapi ia sejalan dengan tindakan
syara' dan maknanya diambil dari dalil-dalil syara' maka mashlahah itu benar
dan dapat dijadikan sebagai hujjah (al-Syatibi I.1987:16).
Syatibi dalam membangun metode maslahah mursalah beranjak dari konsep al-munasib (yang sesuai), yakni ada tidaknya persesuaian-persesuaian antara maslahah yang dipertimbangkan dengan tujuan-tujuan umum syariah yang tidak ada syahid dan 'illah, suatu indikasi yang membedakannya dari qiyas dan tidak ditemukan dalil khusus mengenai hukumnya. Konsep al-munasib itu terbagi menjadi tiga bagian. Pertama, al-munasib itu memang memiliki dalil khusus yang menyebutkannya. Seperti disyariatkan qishas yang memiliki tujuan untuk memelihara jiwa manusia sehingga keberlangsungan hidup terjamin, selain bertujuan untuk memelihara anggota tubuh manusia. Validitas al-munasib dalam pengertian ini, tidak perlu diragukan lagi untuk diamalkan. Kedua, al-munasib dalam pengertian adanya anggapan maslahah dalam pemikiran subjektif manusia, tetapi syariah menolaknya. Ini berarti maslahah tersebut ditetapkan semata-mata menurut hawa nafsu, yang bertentangan dengan dalil-dalil syara', sehingga validitasnya tidak diakui hukum Islam. Ketiga, al-munasib dalam pengertian maslahah yang tidak disebutkan oleh nash-nash khusus, baik untuk dipegangi atau untuk ditinggalkan. Artinya tidak ditemukan dalil pertikular yang menunjukkan boleh tidaknya dilakukan oleh orang-orang yang beriman.
Al-munasib
dalam pengertian ini, menurutnya, dapat dibagi kepada dua kemingkinan: (1) Ada
nash yang mengkonfirmasi pengertian munasib itu, seperti adanya 'illah yang
menghalangi pembunuh mendapatkan warisan. (2) al-munasib tersebut sesuai dengan
pandangan syara' secara universal, bukan dengan dalil partikular. Al-munasib
dalam pengertian ini, oleh al-Syatibi, disebut juga dengan istidlal al-mursal
atau al-maslahah al-mursalah (al-Syatibi, tt,: 352-354). Wallahu’alam
Rujukan :
Muhamad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Terj.) Saefullah Ma’sum (Jakarta:
Pustaka Firdaus. 2005), hlm. 423.
Musthofa Dib al-Bugho, Ushul al-Tasyri’ al-Islamiy: Atsar al-Adillah
al-Mukhtalif Fiha (Beirut: Dar al-Qalam. 1993), cet. 3 hlm. 28.
Abdul Wahab Khalaf, Masadir al-Tasyri’ al-Islami fi ma la Nassa fihi sebagaimana
dikutip oleh Abdul Karim al-Khatib dalam bukunya, Ijtihad Menggerakkan
Potensi Dinamis Hukum Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama. 2005.), hlm. 107.
Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir: Kamus Arab Indonesia (Surabaya:
Pustaka Progressif, 2002), hlm. 789.
Muhamad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, hlm. 425. Lihat Musthofa Said
al-Khinn Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id al-Ushuliyah fi Ikhtilaf al-Fuqaha (Beirut:
Muassasah al-Risalah. 1985), cet. 4, hlm. 553. Wahbah al-Zuhaili, Ushul
al-Fiqhi al Islamiyyi (Suria: Dar al-Fikr, 1986), vol. 2, cet. 1, hlm. 755.
Fuqaha Malikyah dan Syafi’iyyah menyebutkan kelima maqashid seperti
tersebut di atas, yakni agama, jiwa, akal, keturunan kemudian harta. Sedangkan
golongan Hanafiyah mendahulukan keturunan dari pada akal, seperti berikut:
agama, jiwa, keturunan, akal kemudian harta. Lihat Wahbah al-Zuhaili, Ushul
al-Fiqhi al Islamiyyi (Suria: Dar al-Fikr, 1986), vol. 2, cet. 1, hlm. 752.
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqhi al Islamiyyi (Suria: Dar al-Fikr,
1986), vol. 2, cet. 1, hlm. 755.
Wahm merupakan tingkatan pengetahuan/keyakinan manusia yang kebenarannya kecil
bahkan mendekati salah (25%), setelah yaqin, dzann dan syakk.
Musthofa Dib al-Bugho, Ushul al-Tasyri’ hlm. 35.Sumber : http://ad-dai.blogspot.com
0 comments:
Post a Comment