Terjadi pro kontra dikalangan para ulama terhadap hukum nyayian dan
alat musik. DR Wahbah mengatakan bahwa yang masyhur didalam madzhab
yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) adalah mengharamkan
menggunaan alat-alat untuk menyanyi, seperti : lute, drum, seruling,
rebab dan yang lainnya termasuk memetik gitar, flute, klarinet dan yang
lainnya.
Siapa yang selalu mendengarkannya maka persaksiannya tidaklah
diterima sebagaimana sabda Rasulullah saw,”Akan ada dari umatku
orang-orang yang menghalalkan khomr, babi, sutera dan musik.” (HR.
Bukhori) dan didalam lafazh yang lain disebutkan,”Ada orang-orang dari
umatku yang akan meminum khomr, menamakannya dengan bukan namanya,
memainkan musik diatas kepalanya dengan alat-alat musik dan para
penyanyi wanitanya maka Allah akan menenggelamkan mereka kedalam bumi
dan menjadikan sebagian dari mereka menjadi monyet dan babi.” (HR. Ibnu
Majah)
Didalam mengharamkan musik ini, mereka juga menggunakan dalil dari Al Qur’an ;
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ
Artinya : “dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan
Perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan
Allah.” (QS. Luqman : 6)
Sebagaimana diketahui bahwa alat-alat itu mengahalanginya dari
mengingat Allah dan dari mengerjakan sholat serta membuang-buang harta,
sebagaimana khomr.
Para ulama Syafi’i dan Hambali memakruhkan alat pukul yang terbuat
dari dahan pohon yang menjadikan nyanyiannya semakin ramai dan nyanyian
itu tidak akan ramai apabila alat itu digunakan sendirian. Alat itu
menyertai nyanyian sehingga hukumnya adalah hukum nyanyian, yaitu
makruh apabila digabungkan dengan sesuatu yang haram atau markruh
seperti tepuk tangan, nyanyian, tarian dan apabila tidak ada hal-hal
demikian maka ia tidaklah makruh karena ia bukanlah alat musik…
Imam Malik, Zhohiriyah dan sekelompok orang-orang sufi membolehkan
mendengarkan musik walaupun dengan menggunakan alat pukul dari kayu dan
rotan, ini adalah pendapat sekelompok sahabat, seperti Ibnu Umar,
Abdullah bin Ja’far, Abdullah bin Zubeir, Muawiyah, Amr bin ‘Ash dan
yang lainnya serta sekelompok tabi’in seperti Sa’id bin Musayyib. (al
Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz IV hal 2664 – 2665)
Syeikh Mahmud Syaltut mengatakan didalam fatawanya tentang belajar
alat musik dan mendengarkannya bahwa sesungguhnya Allah swt menciptakan
manusia dengan memiliki insting atau tabi’at yang cenderung kepada
kesenangan dan kebaikan yang membekas didalam dirinya. Dengan hal itu
dirinya menjadi tenang, senang, bersemangat dan menenangkan anggota
tubuhnya. Jiwanya juga merasa lega dengan berbagai pemandangan yang
indah seperti pemandangan yang hijau, air yang jernih, wajah yang
cantik, bebauan yang wangi.
Syari’at tidaklah mematikan insting itu akan tetapi ia mengaturnya
dan bersifat moderat didalam islam merupakan sesuatu yang sangat
mendasar yang telah ditunjukkan oleh Al Qur’an yang mulia, seperti
firman-Nya :
يَا بَنِي آدَمَ خُذُواْ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وكُلُواْ وَاشْرَبُواْ وَلاَ تُسْرِفُواْ
Artinya : “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap
(memasuki) mesjid, Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.”
(Qs. Al A’raf : 31)
Berdasarkan hal itulah syariat islam mengarahkan manusia untuk
memenuhi berbagai tuntutan instingnya kepada batas yang moderat dan
tidak melepaskannya begitu saja dan tidak juga mencabut insting itu
didalam menyukai berbagai pemandangan yang baik, suara-suara yang
nikmat didengar dan sesungguhnya syariat itu mengaturnya dengan baik
dan seimbang kepada apa-apa yang tidak membawa kemudharatan dan
kejahatan.
Beliau juga menambahkan didalam fatwanya bahwa dirinya telah membaca
pendapat salah seorang fuqoha abad XI yang terkenal dengan sifat wara’
dan ketakwaannya, tulisannya itu berjudul “Penjelasan dalil-dalil dalam
mendengarkan alat-alat musik” oleh Syeikh Abdul Ghani an Nablusi al
Hanafi yang menegaskan didalamnya bahwa hadits-hadits yang dijadikan
dasar oleh orang-orang yang mengharamkan musik terikat dengan
penyebutan berbagai macam permainan, penyebutan khomr, biduanita,
perbuatan tak senonoh dan hampir dipastikan bahwa didalam hadits
tersebut tidak disebutkan perbuatan-perbuatan yang demikian. Karena itu
dia menjadikan bahwa mendengar suara-suara dan alat-alat musik apabila
disertai dengan hal-hal yang diharamkan atau menggunakan sarana-sarana
yang diharamkan atau terjadi di situ hal-hal yang diharamkan maka
hukumnya haram. Dan apabila ia bersih dari hal-hal yang demikian maka
hukumnya mubah (boleh) untuk menghadiri, mendengarkan dan
mempelajarinya.
Nabi saw, para sahabat, tabi’in, para imam dan fuqoha telah
menghadiri berbagai pertemuan untuk mendengarkan sesuatu yang tidak ada
didalamnya suatu pelecehan dan yang diharamkan, hal ini juga banyak
dikemukakan oleh para fuqoha. Fatwanya bahwa mendengarkan alat-alat
yang memiliki alunan (senandung) atau suara-suara tidak mungkin
diharamkan hanya sebatas suara yang keluar dari alat itu akan tetapi ia
diharamkan apabila ia digunakan untuk sesuatu yang diharamkan atau
menggunakan sarana yang diharamkan atau melalaikan yang wajib.
Kesimpulan ini didapat dari berbagai kitab fiqih para madzhab dan
hukum-hukum didalam Al Qur’an dan dari sisi bahasa bahwa memukul duff
(rebana) atau alat-alat lainnya para penunggang onta, untuk
menggelorakan semangat para tentara dalam berperang, didalam
perkawinan, hari raya, kedatangan orang yang selama ini hilang,
membangkitkan semangat untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang
penting adalah mubah sebagaimana kesepakatan ulama.
Adapun perselisihan yang terjadi diantara para fuqoha yang terdapat
didalam buku-buku mereka adalah masalah halal atau tidak halal
menyibukkan dirinya dengan musik baik mendengarkan, menghadiri atau
mengajarkan apabila para pelakunya adalah orang yang berbuat haram
seperti meminum khomar, nyanyian tak senonoh, cabul (jorok) yang bisa
membangkitkan hawa nafsu maupun kefasikan pada orang-orang yang
mendengarkannya begitu juga dengan joget atau perbuatan mesum lainnya.
Dan itu semua digunakan pada tempat-tempat yang mengandung kemunkaran
atau diharamkan… “
Ibnu Hazm mengatakan bahwa permasalahan ini tergantung dari niatnya.
Barangsiapa yang berniat untuk menghibur dirinya, menyemangatinya untuk
berbuat ketaatan maka ia termasuk orang yang taat dan berbuat baik dan
barangsiapa yang berniat bukan untuk ketaatan juga bukan untuk
kemaksiatan maka hal itu termasuk didalam perbuatan yang sia-sia yang
dimaafkan seperti manusia yang keluar ke kebunnya hanya untuk refresing
atau orang yang duduk-duduk di depan pintu rumahnya untuk rileks semata.
Imam Ghozali mengemukakan pendapat asy Syaukani didalam menjelaskan
hadits,”Segala permainan yang dimainkan seorang mukmin adalah batil.”
Tidaklah menunukkan pengharaman akan tetapi menunjukkan tidak adanya
manfaat dan setiap yang tidak ada manfaat didalamnya termasuk mubah
(boleh).” (Fatawa al Azhar juz VII hal 263)
Demikian pula terhadap musik karya Wolfgang A Mozart, musik simfoni,
sonata, concerto yang termasuk didalam golongan musik-musik klasik maka
ia—sebagaimana fatwa diatas—dibolehkan selama tetap memperhatikan
hal-hal berikut ;
1. Tidak diniatkan untuk masiat kepada Allah swt.
2. Tidak berlebih-lebihan didalam menikmati maupun mendengarkannya
sehingga melalaikannya dari perkara-perkara yang diwajibkan, seperti :
sholat, mengingat Allah maupun kewajiban lainnya.
3. Para pemainnya tidak menampilkan perbuatan-perbuatan yang diharamkan atau dilarang agama.
4. Biduanitanya—jika ada—tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang
mengundang fitnah, seperti :menggunakan gaun yang seronok, tidak sopan,
bergoyang-goyang atau menyanyikannya dengan suara-suara yang
dibuat-buat sehingga membangkitkan birahi dan merangsang syahwat
orang-orang yang mendengarkannya.
5. Bait-bait syair lagunya tidak bertentangan dengan adab dan ajaran
islam, seperti mengandung kemusyrikan, pelecehan, jorok dan sejenisnya.
6. Tidak diadakan di tempat-tempat yang mengandung syubhat,
kemunkaran atau diharamkan, seperti di tempat yang dibarengi dengan
minuman keras, dicampur dengan perbuatan cabul dan maksiat.
Wallahu A’lam