Tuesday 12 June 2012

“Pakai Sayyidina dalam Shalawat, Bagaimana Hukumnya?”




Banyak yang bertanya apa sih hukumnya menambahi kata sayyidina pada tahiyat awal dan akhir waktu sholat, dan juga bersholawat diluar sholat. Ini pembahasannya...
Mazhab As-Syafi`iyyah dan Al-Hanabilah menyatakan bahwa shalawat kepada nabi dalam tasyahhud akhir hukumnya wajib. Sedangkan shalawat kepada keluarga beliau SAW hukumnya sunnah menurut As-Syafi`iyah dan hukumnya wajib menurut Al-Hanabilah.
Untuk itu kita bisa merujuk pada kitab-kitab fiqih, misalnyakitab Mughni Al-Muhtaj jilid 1 halama 173, atau juga bisa dirunut ke kitab Al-Mughni jilid 1 halaman 541.

Sedangkan menurut Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah, membaca shalawat kepada nabi pada tasyahhud akhir hukumnya sunnah. Demikian juga dengan shalawat kepada keluarga beliau.
Keterangan ini juga bisa kita lihat pada kitab Ad-Dur Al-Mukhtar jilid 1 halaman 478 dan kitab Asy-Syarhu Ash-Shaghir jilid 1 halaman 319.
Adapun lafaz shalawat kepada nabi dalam tasyahud akhir seperti yang diperintahkan oleh Rasulullah SAW adalah:
اللهم صلى على محمد وعلى آل محمد كما صليت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم وبارك على محمد وعلى آل محمد كما باركت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد
Allahumma Shalli `ala Muhammad wa `ala aali Muhammad, kamaa shallaita `ala Ibrahim wa `ala aali Ibrahim. Wa baarik `ala `ala Muhammad wa `ala aali Muhammad, kamaa barakta `ala Ibrahim wa `ala aali Ibrahim. Innaka hamidun majid.
Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada Muhammad dan kepada keluarganya, sebagaimana shalawat-Mu kepada Ibrahim dan kepada keluarganya. Berkahilah Muhammad dan keluarganya sebagaimana barakah-Mu kepada Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkah Maha Terpuji dan Maha Agung.
Masalah Penggunaan Lafaz ‘Sayyidina’ Di dalam kitab Ad-Dur Al-Mukhtar jilid 1 halaman 479, kitab Hasyiyah Al-Bajuri jilid 1 halaman 162 dan kitab Syarhu Al-Hadhramiyah halaman 253 disebutkan bahwa Al-Hanafiyah dan As-Syafi`iyah menyunnahkan penggunaan kata (sayyidina) saat mengucapkan shalawat kepada nabi SAW . Meski tidak ada di dalam hadits yang menyebutkan hal itu.
Landasan yang mereka kemukakanadalah bahwa penambahan kabar atas apa yang sesungguhnya memang ada merupakan bagian dari suluk kepada Rasulullah SAW. Jadi lebih utama digunakan daripada ditinggalkan.
Sedangkan hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW berkata,`Janganlah kamu memanggilku dengan sebuatan sayyidina di dalam shalat`, adalah hadits maudhu` dan dusta. .
Adapun selain mereka, umumnya tidak membolehkan penambahan lafadz (sayyidina), khususnya di dalam shalat, sebab mereka berpedoman bahwa lafadz bacaan shalat itu harus sesuai dengan petunjuk hadits-hadits nabawi. Bila ada kata (sayyidina) di dalam hadits, harus diikuti. Namun bila tidak ada kata tersebut, tidak boleh ditambahi sendiri.
Demikianlah, ternyata para ulama di masa lalu telah berbeda pendapat. Padahal dari segi kedalaman ilmu, nyaris hari ini tidak ada lagi sosok seperti mereka. Kalau pun kita tidak setuju dengan salah satu pendapat mereka, bukan berarti kita harus mencaci maki orang yang mengikuti pendapat itu sekarang ini. Sebab merekahanya mengikuti fatwa para ulama yang mereka yakini kebenarannya. Dan selama fatwa itu lahir dari ijtihad para ulama sekaliber fuqaha mazhab, kita tidak mungkin menghinanya begitu saja.
Adab yang baik adalah kita menghargai dan mengormati hasil ijtihad itu. Dan tentunya juga menghargai mereka yang menggunakan fatwa itu di masa sekarang ini. Lagi pula, perbedaan ini bukan perbedaan dari segi aqidah yang merusak iman, melainkan hanya masalah kecil, atau hanya berupa cabang-cabang agama. Tidak perlu kita sampai meneriakkan pendapat yang berbeda dengan pendapat kita sebagai tukang bid’ah.
Wallahu a’lam bishshawab.


Sumber Pakai Sayyidina dalam Shalawat, Bagaimana Hukumnya? : http://www.salaf.web.id

2 comments:

hizhnulhaq said...

sebagai seorang muslim, kita tentu saja harus menjaga keutuhan muslim itu sendiri dan jangan sampai karena perbedaan fatwa menyebabkan terjadinya gesekan2 antar muslim. antar muhammadiyah dan nu misalnya harus bisa rukun dan jangan suka membidah2kan sebelum tau ilmunya. di tempatku di samarinda pun banyak orang nu nya dan aku pun termasuk di dalamnya tapi aku juga muhammadiyah. dan lebih utamanya aku juga muslim. kita harus bisa bersatu karena syariat kita adalah syariat yang benar

Unknown said...

Benar mas zaini, kita mestixa harus bisa menghargai dan menghormati adaxa perbedaan pendapat, karena pendapat tsb lahir dari ijtihad yg dilakukan oleh ulama2 yg mahsyur dan sdh diakui kemujtahitanxa..
Jdi bwt ap saling memaki dan saling berdebat cuma karna hal tsb.. Marilah umat Islam bersatu meskipun dgn suatu perbedaan pendapat.

Post a Comment

◄ Posting Baru Posting Lama ►
 
Powered By Blogger

Formulir Kontak

Name

Email *

Message *

Pembaca

Copyright © 2016. Wawasan dan Kisah Islami - All Rights Reserved My Free Template by Bamz